Menurut Oppenheim-Lauterpacht, unsur-unsur negara adalah:
Unsur pembentuk negara (konstitutif): wilayah/ daerah, rakyat, pemerintah yang berdaulat
Unsur deklaratif: pengakuan oleh negara lain
1. Wilayah/ Daerah
1) Daratan
Wilayah
daratan ada di permukaan bumi dalam batas-batas tertentu dan di dalam
tanah di bawah permukaan bumi. Artinya, semua kekayaan alam yang
terkandung di dalam bumi dalam batas-batas negara adalah hak sepenuhnya
negara pemilik wilayah.
Batas-batas wilayah daratan suatu negara dapat berupa:
Batas alam, misalnya: sungai, danau, pegunungan, lembah
Batas buatan, misalnya: pagar tembok, pagar kawat berduri, parit
Batas menurut ilmu alam: berupa garis lintang dan garis bujur peta bumi
2) Lautan
Lautan
yang merupakan wilayah suatu negara disebut laut teritorial negara itu,
sedangkan laut di luarnya disebut laut terbuka (laut bebas, mare liberum).
Ada dua konsepsi pokok tentang laut, yaitu: 1) Res Nullius, yang menyatakan bahwa laut tidak ada pemiliknya, sehingga dapat diambil/ dimiliki oleh setiap negara; 2) Res Communis,
yang menyatakan bahwa laut adalah milik bersama masyarakat dunia dan
karenanya tidak dapat diambil/ dimiliki oleh setiap negara.
Tidak ada
ketentuan dalam hukum internasional yang menyeragamkan lebar laut
teritorial setiap negara. Kebanyakan negara secara sepihak menentukan
sendiri wilayah lautnya. Pada umumnya dianut tiga (3) mil laut (± 5,5
km) seperti Kanada dan Australia. Tetapi ada pula yang menentukan batas
12 mil laut (Chili dan Indonesia), bahkan 200 mil laut (El Salvador).
Batas laut Indonesia sejauh 12 mil laut diumumkan kepada masyarakat
internasional melalui Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Pada
tanggal 10 Desember 1982 di Montego Bay (Jamaica), ditandatangani
traktat multilateral yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan
dengan lautan, misalnya: permukaan dan dasar laut, aspek ekonomi,
perdagangan, hukum, militer dan lingkungan hidup. Traktat tersebut
ditandatangani 119 delegasi peserta yang terdiri dari 117 negara dan dua
organisasi kebangsaan.
Tentang batas lautan ditetapkan sebagai berikut:
1. Batas laut teritorial
Setiap negara
berdaulat atas lautan teritorial yang jaraknya sampai 12 mil laut,
diukur dari garis lurus yang ditarik dari pantai.
2. Batas zona bersebelahan
Di luar batas laut
teritorial sejauh 12 mil laut atau 24 mil dari pantai adalah batas zona
bersebelahan. Di dalam wilayah ini negara pantai dapat mengambil
tindakan dan menghukum pihak-pihak yang melanggar undang-undang bea
cukai, fiskal, imigrasi, dan ketertiban negara.
3. Batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE)
ZEE adalah wilayah
laut suatu engara pantai yang batasnya 200 mil laut diukur dari pantai.
Di dalam wilayah ini, negara pantai yang bersangkutan berhak menggali
kekayaan laut dan menangkap nelayan asing yang kedapatan menangkap ikan
di wilayah ini serta melakukan kegiatan ekonomi lainnya. Negara lain
bebas berlayar atau terbang di atas wilayah itu serta bebas pula
memasang kabel dan pipa di bawah laut.
4. Batas landas benua
Landas benua adalah
wilayah lautan suatu engara yang batasnya lebih dari 200 mil laut. Dalam
wilayah ini negara pantai boleh melakukan eksplorasi dan eksploitasi
dengan kewajiban membagi keuntungan dengan masyarakat internasional.
3) Udara
Wilayah
udara suatu negara ada di atas wilayah daratan dan lautan negara itu.
Kekuasaan atas wilayah udara suatu negara itu pertama kali diatur dalam
Perjanjian Paris pada tahun 1919 (dimuat dalam Lembaran Negara Hindia
Belanda No.536/1928 dan No.339/1933). Perjanjian Havana pada tahun 1928
yang dihadiri 27 negara menegaskan bahwa setiap negara berkuasa penuh
atas udara di wilayahnya. Hanya seizin dan atau menurut perjanjian
tertentu, pesawat terbang suatu negara boleh melakukan penerbangan di
atas negara lain. Demikian pula Persetujuan Chicago 1944 menentukan
bahwa penerbangan internasional melintasi negara tanpa mendarat atau
mendarat untuk tujuan transit dapat dilakukan hanya seizin negara yang
bersangkutan. Sedangkan Persetujuan Internasional 1967 mengatur tentang
angkasa yang tidak bisa dimiliki oleh negara di bawahnya dengan alasan
segi kemanfaatan untuk semua negara dan tujuan perdamaian.
4) Wilayah Ekstrateritorial
Wilayah
ekstrateritorial adalah tempat-tempat yang menurut hukum internasional
diakui sebagai wilayah kekuasaan suatu negara – meskipun tempat itu
berada di wilayah negara lain. Termasuk di dalamnya adalah tempat
bekerja perwakilan suatu negara, kapal-kapal laut yang berlayar di laut
terbuka di bawah suatu bendera negara tertentu. Di wilayah itu
pengibaran bendera negara yang bersangkutan diperbolehkan. Demikian pula
pemungutan suara warga negara yang sedang berada di negara lain untuk
pemilu di negara asalnya. Contoh: di atas kapal (floating island) berbendera Indonesia berlaku kekuasaan negara dan undang-undang NKRI.
2. Rakyat
Rakyat (Inggris: people; Belanda: volk)
adalah kumpulan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat
penghuni suatu negara, meskipun mereka ini mungkin berasal dari
keturunan dan memiliki kepercayaan yang berbeda. Selain rakyat, penghuni
negara juga disebut bangsa. Para ahli menggunakan istilah rakyat dalam
pengertian sosiologis dan bangsa dalam pengertian politis. Rakyat adalah
sekelompok manusia yang memiliki suatu kebudayaan yang sama, misalnya
memiliki kesamaan bahasa dan adat istiadat. Sedangkan bangsa – menurut Ernest Renan – adalah sekelompok manusia yang dipersatukan oleh kesamaan sejarah dan cita-cita.
Hasrat bersatu yang didorong oleh kesamaan sejarah dan cita-cita
meningkatkan rakyat menjadi bangsa. Dengan perkataan lain, bangsa adalah
rakyat yang berkesadaran membentuk negara. Suatu bangsa tidak selalu
terbentuk dari rakyat seketurunan, sebahasa, seagama atau adat istiadat
tertentu kendati kesamaan itu besar pengaruhnya dalam proses pembentukan
bangsa. Sekadar contoh, bangsa Amerika Serikat sangat heterogen, banyak
ras, bahasa dan agama; bangsa Swiss menggunakan tiga bahasa yang sama
kuatnya; bangsa Indonesia memiliki ratusan suku, agama, bahasa dan adat
istiadat yang berbeda. Secara geopolitis, selain harus memiliki sejarah
dan cita-cita yang sama, suatu bangsa juga harus terikat oleh tanah air
yang sama.
Beberapa pandangan tentang pengertian bangsa:
-
Otto Bauer berpendapat bahwa bangsa adalah suatu kesatuan yagn terjadi karena persatuan yang telah dijalani rakyat.
Kranenburg dalam bukunya “Allgemeine Staatslehre” mengaitkan konsepsi bangsa dengan budi pekerti rakyat.
Jacobsen dan Lipman dalam buku “Political Science” menyatakan bahwa bangsa adalah suatu kesatuan budaya (cultural unity).
-
Ernest Renan dalam
pidatonya di Universitas Sorbone (Paris) pada tanggal 11 Maret 1882
menyatakan bahwa bangsa adalah satu jiwa atau satu azas kerohanian yang
ditimbulkan oleh adanya kemuliaan bersama di masa lampau. Bangsa tumbuh
karena adanya solidaritas kesatuan.
-
G.S. Dipondo mengatakan
bahwa rakyat hanyalah sebagian kecil dari bangsa, yaitu mereka yang
tidak duduk dalam pucuk pimpinan. Sedangkan pengertian bangsa mencakup
baik pimpinan maupun rakyat itu sendiri.
-
Padmo Wahyono menggunakan istilah bangsa sebagai unsur negara: bangsa dari suatu negara jika dilihat secara perorangan berarti warga negara.
Beberapa istilah yang erat pengertiannya dengan rakyat:
-
Rumpun (ras),
diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan
karena berciri jasmaniah yang sama, misalnya: warna kulit, warna rambut,
bentuk badan, wajah, etc.
-
Bangsa (volks),
diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan
karena kesamaan kebudayaan, misalnya: bahasa, adat/ kebiasaan, agama dan
sebagainya.
-
Nation (natie), diartikan sebagai sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan karena memiliki kesatuan politik yang sama.
Rakyat
merupakan unsur terpenting dalam negara karena manusialah yang
berkepentingan agar organisasi negara dapat berjalan dengan baik. Rakyat
suatu negara dibedakan antara: a) penduduk dan bukan penduduk; b) warga
negara dan bukan warga negara.
Penduduk
ialah mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili tetap di dalam
wilayah negara. Sedangkan bukan penduduk ialah mereka yang ada di dalam
wilayah negara, tetapi tidak bermaksud bertempat tinggal di negara itu. Warga negara
ialah mereka yang berdasarkan hukum merupakan anggota dari suatu
negara. Sedangkan bukan warga negara disebut orang asing atau warga
negara asing (WNA).
Georg Jellinek mengemukakan empat status bangsa, yaitu:
Status positif, yaitu
status yang memberikan hak kepada warga negara untuk menuntut tindakan
positif negara mengenai perlindungan atas jiwa raga, hak milik,
kemerdekaan, dan sebagainya;
Status negatif, yaitu
status yang menjamin warga negara bahwa negara tidak ikut campur
terhadap hak-hak azasi (hak-hak privat) warga negaranya.
Status aktif, yaitu
status yang memberikan hak kepada setiap warga negara untuk ikut serta
dalam pemerintahan, misalnya melalui hak pilih (aktif: memilih, pasif:
dipilih).
Status pasif, yaitu status yang memberikan kewajiban kepada setiap warga negara untuk taat dan tunduk kepada negara.
Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politikon,
artinya makhluk yang pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul
dengan sesamanya atau makhluk yang suka bermasyarakat. Manusia adalah
makhluk individu (perseorangan) sekaligus makhluk sosial. Secara singkat
yang disebut masyarakat adalah persatuan manusia yang timbul dari
kodrat yang sama itu.
Penyebab manusia selalu hidup bermasyarakat antara lain adalah dorongan kesatuan biologis dalam naluri manusia, yaitu:
hasrat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum;
hasrat untuk membela diri;
hasrat untuk melanjutkan keturunan.
Golongan masyarakat antara lain terbentuk karena:
rasa tertarik kepada (sekelompok) orang lain tertentu;
memiliki kegemaran yang sama dengan orang lain;
memerlukan bantuan/ kekuatan orang lain;
berhubungan darah dengan orang lain; dan
memiliki hubungan kerja dengan orang lain.
Dengan perkataan lain, aspek-aspek yang mendorong manusia ke arah kerja sama dengan sesamanya adalah:
biologis: manusia ingin
tetap hidup dan mempertahankan kelangsungan hidupnya yang hanya bisa
dicapai dengan bekerja sama dengan sesamanya;
psikologis: kesediaan
kerja sama untuk menghilangkan kejemuan dan mempertahankan harga diri
sebagai anggota pergaulan hidup bersama manusia;
ekonomis: kesediaan manusia untuk bekerja sama adalah agar dapat memenuhi dan memuaskan segala macam kebutuhan hidupnya;
kultural: manusia sadar bahwa segala usahanya untuk menciptakan sesuatu hanya bisa berhasil dalam kerja sama dengan sesamanya.
Sifat-sifat golongan masyarakat itu pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga macam golongan besar, yaitu:
Golongan yang berdasarkan hubungan kekeluargaan: perkumpulan keluarga;
Golongan yang berdasarkan
hubungan kepentingan/ pekerjaan: perkumpulan ekonomi, koperasi, serikat
sekerja, perkumpulan sosial , kesenian, olahraga, etc.
Golongan yang berdasarkan hubungan tujuan/ pandangan hidup atau ideologi: partai politik, perkumpulan keagamaan.
Bentuk pergaulan hidup masyarakat:
a) berdasarkan hubungan yang diciptakan para anggotanya:
-
Masyarakat paguyuban (gemeinschaft), apabila hubungan itu bersifat kepribadian dan menimbulkan ikatan batin, misalnya rumah tangga, perkumpulan kematian, etc.
Masyarakat patembayan (gesellschaft),
apabila hubungan itu bersifat bukan-kepribadian dan bertujuan untuk
mencapai keuntungan kebendaan, misalnya firma, perseroan komanditer,
perseroan terbatas, etc.
b) berdasarkan sifat pembentukannya:
-
Masyarakat yang teratur oleh karena sengaja diatur untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya perkumpulan olahraga.
Masyarakat yang teratur dan terjadi dengan sendirinya karena adanya
kesamaan kepentingan, misalnya para penonton pertandingan sepakbola.
Masyarakat yang tidak teratur, misalnya para pembaca harian Kompas.
c) berdasarkan hubungan kekeluargaan: rumah tangga, sanak saudara, suku, bangsa, etc.
d) berdasarkan perikehidupan/ kebudayaan:
Masyarakat primitif dan masyarakat modern.
Masyarakat desa dan masyarakat kota.
Masyarakat teritorial, yang anggota-anggotanya bertempat tinggal di suatu daerah.
Masyarakat genealogis, yang anggota-anggotanya seketurunan (memiliki hubungan pertalian darah).
Masyarakat teritorial-genealogis, yang anggota-anggotanya bertempat tinggal di suatu daerah dan mereka seketurunan.
3. Pemerintah yang berdaulat
Istilah Pemerintah merupakan terjemahan dari kata asing Gorvernment (Inggris), Gouvernement
(Prancis) yang berasal dari kata Yunani κουβερμαν yang berarti
mengemudikan kapal (nahkoda). Dalam arti luas, Pemerintah adalah
gabungan dari semua badan kenegaraan (eksekutif, legislatif, yudikatif)
yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara. Dalam arti sempit,
Pemerintah mencakup lembaga eksekutif saja.
Menurut Utrecht, istilah Pemerintah meliputi pengertian yang tidak sama sebagai berikut:
Pemerintah sebagai gabungan semua badan kenegaraan atau seluruh alat
perlengkapan negara adalam arti luas yang meliputi badan legislatif,
eksekutif dan yudikatif.
Pemerintah sebagai badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara (dhi. Kepala Negara).
Pemerintah sebagai badan eksekutif (Presiden bersama menteri-menteri: kabinet).
Istilah kedaulatan merupakan terjemahan dari sovereignty (Inggris), souveranete (Prancis), sovranus (Italia) yang semuanya diturunkan dari kata supremus (Latin) yang berarti tertinggi. Kedaulatan berarti kekuasan yang tertinggi, tidak di bawah kekuasaan lain.
Pemerintah
yang berdaulat berarti pemerintah yang memegang kekuasaan tertinggi di
dalam negaranya dan tidak berada di bawah kekuasaan pemerintah negara
lain. Maka, dikatakan bahwa pemerintah yang berdaulat itu berkuasa ke
dalam dan ke luar:
Kekuasaan ke dalam, berarti bahwa kekuasaan pemerintah itu dihormati dan ditaati oleh seluruh rakyat dalam negara itu;
Kekuasaan ke luar, berarti bahwa kekuasaan pemerintah itu dihormati dan diakui oleh negara-negara lain.
Jean Bodin
(1530-1596), seorang ahli ilmu negara asal Prancis, berpendapat bahwa
negara tanpa kekuasaan bukanlah negara. Dialah yang pertama kali
menggunakan kata kedaulatan dalam kaitannya dengan negara (aspek
internal: kedaulatan ke dalam). Kedaulatan ke dalam adalah kekuasaan tertinggi di dalam negara untuk mengatur fungsinya. Kedaulatan ke luar
adalah kekuasaan tertinggi untuk mengatur pemerintahan serta memelihara
keutuhan wilayah dan kesatuan bangsa (yang selayaknya dihormati oleh
bangsa dan negara lain pula), hak atau wewenang mengatur diri sendiri
tanpa pengaruh dan campur tangan asing.
Grotius (Hugo de Groot) yang dianggap sebagai bapak hukum internasional
memandang kedaulatan dari aspek eksternalnya, kedaulatan ke luar, yaitu
kekuasaan mempertahankan kemerdekaan negara terhadap serangan dari
negara lain.
Sifat-sifat kedaulatan menurut Jean Bodin:
Permanen/ abadi, yang berarti kedaulatan tetap ada selama negara masih berdiri.
Asli, yang berarti bahwa kedaulatan itu tidak berasal adari kekuasaan lain yang lebih tinggi.
Tidak terbagi, yang berarti bahwa kedaulatan itu merupakan satu-satunya yang tertinggi di dalam negara.
Tidak terbatas,
yang berarti bahwa kedaulatan itu tidak dibatasi oleh siapa pun, karena
pembatasan berarti menghilangkan ciri kedaulatan sebagai kekuasaan yang
tertinggi.
Para
ahli hukum sesudahnya menambahkan satu sifat lagi, yaitu tunggal, yang
berarti bahwa hanya negaralah pemegang kekuasaan tertinggi.
Macam-macam teori kedaulatan
1. Teori Kedaulatan Tuhan
Teori ini merupakan
teori kedaulatan yang pertama dalam sejarah, mengajarkan bahwa negara
dan pemerintah mendapatkan kekuasaan tertinggi dari Tuhan sebagai asal
segala sesuatu (Causa Prima). Menurut teori ini, kekuasaan yang
berasal dari Tuhan itu diberikan kepada tokoh-tokoh negara terpilih,
yang secara kodrati ditetapkan-Nya menjadi pemimpin negara dan berperan
selaku wakil Tuhan di dunia. Teori ini umumnya dianut oleh raja-raja
yang mengaku sebagai keturunan dewa, misalnya para raja Mesir Kuno,
Kaisar Jepang, Kaisar China, Raja Belanda (Bidde Gratec Gods, kehendak Tuhan), Raja Ethiopia (Haile Selasi,
Singa penakluk dari suku Yuda pilihan Tuhan). Demikian pula dianut oleh
para raja Jawa zaman Hindu yang menganggap diri mereka sebagai
penjelmaan Dewa Wisnu. Ken Arok bahkan menganggap dirinya sebagai
titisan Brahmana, Wisnu, dan Syiwa sekaligus.
Pelopor teori kedaulatan Tuhan antara lain: Augustinus (354-430), Thomas Aquino (1215-1274), juga F. Hegel (1770-1831) dan F.J. Stahl (1802-1861).
Karena
berasal dari Tuhan, maka kedaulatan negara bersifat mutlak dan suci.
Seluruh rakyat harus setia dan patuh kepada raja yang melaksanakan
kekuasaan atas nama dan untuk kemuliaan Tuhan. Menurut Hegel, raja
adalah manifestasi keberadaan Tuhan. Maka, raja/ pemerintah selalu
benar, tidak mungkin salah.
2. Teori Kedaulatan Raja
Dalam
Abad Pertengahan Teori Kedaulatan Tuhan berkembang menjadi Teori
Kedaulatan Raja, yang menganggap bahwa raja bertanggung jawab kepada
dirinya sendiri. Kekuasaan raja berada di atas konstitusi. Ia bahkan tak
perlu menaati hukum moral agama, justru karena “status”-nya sebagai
representasi/ wakil Tuhan di dunia. Maka, pada masa itu kekuasaan raja
berupa tirani bagi rakyatnya.
Peletak dasar utama teori ini adalah Niccolo Machiavelli (1467-1527) melalui karyanya, Il Principe.
Ia mengajarkan bahwa negara harus dipimpin oleh seorang raja yang
berkekuasaan mutlak. Sedangkan Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan
negara memang dipersonifikasikan dalam pribadi raja, namun raja tetap
harus menghormati hukum kodrat, hukum antarbangsa, dan konstitusi
kerajaan (leges imperii). Di Inggris, teori ini dikembangkan
oleh Thomas Hobbes (1588-1679) yang mengajarkan bahwa kekuasaan mutlak
seorang raja justru diperlukan untuk mengatur negara dan menghindari
homo homini lupus.
3. Teori Kedaulatan Negara
Menurut
teori ini, kekuasaan tertinggi terletak pada negara. Sumber kedaulatan
adalah negara, yang merupakan lembaga tertinggi kehidupan suatu bangsa.
Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu negara. Hukum dan
konstitusi lahir menurut kehendak negara, diperlukan negara, dan
diabdikan kepada kepentingan negara. Demikianlah F. Hegel
mengajarkan bahwa terjadinya negara adalah kodrat alam, menurut hukum
alam dan hukum Tuhan. Maka kebijakan dan tindakan negara tidak dapat
dibatasi hukum. Ajaran Hegel ini dianggap yang paling absolut sepanjang
sejarah. Para penganut teori ini melaksanakan pemerintahan tiran,
teristimewa melalui kepala negara yang bertindak sebagai diktator.
Pengembangan teori Hegel menyebar di negara-negara komunis.
Peletak
dasar teori ini antara lain: Jean Bodin (1530-1596), F. Hegel
(1770-1831), G. Jellinek (1851-1911), Paul Laband (1879-1958).
4. Teori Kedaulatan Hukum
Berdasarkan
pemikiran teori ini, kekuasaan pemerintah berasal dari hukum yang
berlaku. Hukumlah (tertulis maupun tidak tertulis) yang membimbing
kekuasaan pemerintahan. Etika normatif negara yang menjadikan hukum
sebagai “panglima” mewajibkan penegakan hukum dan penyelenggara negara
dibatasi oleh hukum. Pelopor teori Kedaulatan Hukum antara lain: Hugo de Groot, Krabbe, Immanuel Kant dan Leon Duguit.
5. Teori Kedaulatan Rakyat (Teori Demokrasi)
Teori ini
menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Pemerintah
harus menjalankan kehendak rakyat. Ciri-cirinya adalah: kedaulatan
tertinggi berada di tangan rakyat (teori ajaran demokrasi) dan
konstitusi harus menjamin hak azasi manusia.
Beberapa pandangan pelopor teori kedaulatan rakyat:
J.J. Rousseau menyatakan bahwa kedaulatan itu
perwujudan dari kehendak umum dari suatu bangsa merdeka yang mengadakan
perjanjian masyarakat (social contract).
Johanes Althuisiss menyatakan bahwa setiap susunan
pergaulan hidup manusia terjadi dari perjanjian masyarakat yang tunduk
kepada kekuasaan, dan pemegang kekuasaan itu dipilih oleh rakyat.
John Locke menyatakan bahwa kekuasaan negara
berasal dari rakyat, bukan dari raja. Menurut dia, perjanjian masyarakat
menghasilkan penyerahan hak-hak rakyat kepada pemerintah dan pemerintah
mengembalikan hak dan kewajiban azasi kepada rakyat melalui peraturan
perundang-undangan.
Montesquieu yang membagi kekuasaan negara menjadi: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif (Trias Politica).
4. Pengakuan oleh negara lain
Pengakuan
oleh negara lain didasarkan pada hukum internasional. Pengakuan itu
bersifat deklaratif/ evidenter, bukan konstitutif. Proklamasi
kemerdekaan Amerika Serikat dilaksanakan pada tanggal 4 Juli 1776, namun
Inggris (yang pernah berkuasa di wilayah AS) baru mengakui kemerdekaan
negara itu pada tahun 1783.
Adanya
pengakuan dari negara lain menjadi tanda bahwa suatu negara baru yang
telah memenuhi persyaratan konstitutif diterima sebagai anggota baru
dalam pergaulan antarnegara. Dipandang dari sudut hukum internasional,
faktor pengakuan sangat penting, yaitu untuk:
tidak mengasingkan suatu kumpulan manusia dari hubungan-hubungan internasional;
menjamin kelanjutan hubungan-hubungan intenasional dengan jalan
mencegah kekosongan hukum yang merugikan, baik bagi
kepentingan-kepentingan individu maupun hubungan antarnegara.
Menurut Oppenheimer, pengakuan oleh negara lain terhadap berdirinya suatu negara semata-mata merupakan syarat konstitutif untuk menjadi an international person. Dalam kedudukan itu, keberadaan negara sebagai kenyataan fisik (pengakuan de facto) secara formal dapat ditingkatkan kedudukannya menjadi suatu judicial fact (pengakuan de jure).
Pengakuan de facto
adalah pengakuan menurut kenyataan bahwa suatu negara telah berdiri dan
menjalankan kekuasaan sebagaimana negara berdaulat lainnya. Sedangkan
pengakuan de jure adalah pengakuan secara hukum bahwa suatu negara telah berdiri dan diakui kedaulatannya berdasarkan hukum internasional.
Perbedaan antara pengakuan de facto dan pengakuan de jure antara lain adalah:
Hanya negara atau pemerintah yang diakui secara de jure yang dapat mengajukan klaim atas harta benda yang berada dalam wilayah negara yang mengakui.
Wakil-wakil dari negara yang diakui secara de facto secara hukum tidak berhak atas kekebalan-kekebalan dan hak-hak istimewah diplomatik secara penuh.
Pengakuan de facto – karena sifatnya sementara – pada prinsipnya dapat ditarik kembali.
Apabila suatu negara berdaulat yang diakui secara de jure memberikan kemerdekaan kepada suatu wilayah jajahan, maka negara yang baru merdeka itu harus diakui secara de jure pula.
Pada
tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia menyatakan kemerdekaannya.
Unsur-unsur negara terpenuhi pada tanggal 18 Agustus 1945. Pengakuan
pertama diberikan oleh Mesir, yaitu pada tanggal 10 Juni 1947.
Berturut-turut kemerdekaan Indonesia itu kemudian diakui oleh Lebanon,
Arab Saudi, Afghanistan, Syria dan Burma. Pengakuan de facto
diberikan Belanda kepada Republik Indonesia atas wilayah Jawa, Madura
dan Sumatra dalam Perundingan Linggarjati tahun 1947. Sedangkan
pengakuan de jure diberikan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 dalam Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pengakuan
terhadap negara baru dalam kenyataannya lebih merupakan masalah politik
daripada masalah hukum. Artinya, pertimbangan politik akan lebih
berpengaruh dalam pemberian pengakuan oleh negara lain. Pengakuan itu
merupakan tindakan bebas dari negara lain yang mengakui eksistensi suatu
wilayah tertentu yang terorganisasi secara politik, tidak terikat
kepada negara lain, berkemampuan menaati kewajiban-kewajiban hukum
internasional dalam statusnya sebagai anggota masyarakat internasional.
Menurut Starke, tindakan pemberian pengakuan dapat dilakukan secara tegas (expressed),
yaitu pengakuan yang dinyatakan secara resmi berupa nota diplomatik,
pesan pribadi kepala negara atau menteri luar negeri, pernyataan
parlemen, atau melalui traktat. Pengakuan juga dapat dilakukan secara
tidak tegas (implied), yaitu pengakuan yang ditampakkan oleh hubungan tertentu antara negara yang mengakui dengan negara atau pemerintahan baru.
Ada dua teori pengakuan yang saling bertentangan:
Teori Konstitutif,
yaitu teori yang menyatakan bahwa hanya tindakan pengakuanlah yang
menciptakan status kenegaraan atau yang melengkapi pemerintah baru
dengan otoritasnya di lingkungan internasional
Teori Deklaratoir atau Evidenter,
yaitu teori yang menyatakan bahwa status kenegaraan atau otoritas
pemerintah baru telah ada sebelum adanya pengakuan dan status itu tidak
bergantung pada pengakuan yang diberikan. Tindakan pengakuan hanyalah
pengumuman secara resmi terhadap fakta yang telah ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar